"We are not professional film critics. We just want to enjoy and to give our opinions about movies. If you have different opinion from us, we would be very happy. Because it shows that we live in a very complex society, with many different thoughts, opinions, and taste. So the movie makers will be challenged to always satisfy their audiences and they will make more and more great movies of all times..."

- Ode & Yanti -

Tuesday 30 June 2009

Slumdog Millionaire (2008)

Genre: Drama, Crime
MPAA: Dewasa / Restricted (R)
Company:
Fox Searchlight Pictures
Director: Danny Boyle; Loveleen Tandan (Co-Director)
Cast: Dev Patel, Anil Kapoor, Freida Pinto
Runtime: 120 min
Recommendations: 8.5/10


Ternyata predikat "Best Picture Drama" di ajang Academy Award, serta peraihan 7 piala Oscar memang pantas disandang Slumdog Millionaire. Sinematografi yg apik, cerita yg biasa namun dibuat dengan alur yg luar biasa, hingga musik yang amat menunjang. Sungguh tidak pernah terfikir sebelumnya, sebuah film India dapat disuguhkan dengan cara seperti itu. Yang pasti itu semua karena garapan Danny Boyle, seorang sutradara berkebangsaan Inggris. Karena menurut opini dari beberapa teman, (tidak dengan maksud mendiskreditkan) hampir tidak mungkin seorang sutradara asli India bisa membuat film seperti Slumdog.

Seperti yg sudah diketahui banyak orang, Slumdog Millionaire bercerita mengenai seorang yatim piatu bernama Jamal, bekerja sebagai pembuat teh di sebuah perusahaan telekomunikasi, yg mengikuti acara Who Wants to be a Millionaire di India. Mengapa Jamal bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yg sulit? Motif apakah yg dimiliki Jamal dengan mengikuti acara tersebut? Apakah Jamal berhasil mendapatkan 20 juta Rupees dan menjadi seorang miliarder?

Terdapat hal-hal menarik dalam Slumdog. Yang paling berkesan adalah banyaknya persamaan antara kondisi India yg digambarkan oleh Boyle dengan kondisi di Indonesia. Dimulai dari penggambaran organisasi pengemis yg terkoordinir, daerah slum yg mirip sekali dengan Jakarta, hingga bajaj 4-tak yg kerap terlihat dalam film tersebut.

Satu hal lagi yang tak kalah menarik adalah: adanya Cinderella Syndrome yg melanda masyarakat India, yg juga banyak terjadi di masyarakat Indonesia. Ketika Jamal hanya tinggal menjawab satu pertanyaan terakhir untuk mendapatkan 20 Juta Rupees, seakan-akan perhatian seluruh penduduk di kota Mumbai tersedot ingin menonton acara tersebut. Mereka ingin melihat, apakah seorang pembuat teh (Chai-Wallah, mungkin bisa disamakan dengan OB-Office Boy) dapat menjadi seorang milyarder dalam sekejap. Jamal langsung menjadi idola masyarakat.

Sama seperti yg seringkali kita temukan di Indonesia. Seseorang yg nasibnya "tertindas" selalu mendapat perhatian dan simpati berlebihan dari masyarakat. Jika memang orang tersebut dapat membuktikan bahwa dirinya memang pantas mendapatkan prestasi karena kerja kerasnya, tidak ada masalah. Namun seringkali status dan kedudukannya itu membuat orang seakan-akan buta, tak peduli orang tersebut memiliki potensi atau tidak. Yang penting, orang yg "tertindas" harus selalu diangkat, harus selalu juara, dengan harapan dapat memperbaiki nasibnya. Atau mungkin, para pendukung itu merefleksikan dirinya sendiri sebagai yg tertindas, dan berharap nasibnya seperti tokoh yg dibelanya.

Harapan selalu ada...

Sunday 28 June 2009

Seven Pounds (2008)

Genre: Drama
MPAA: Remaja/PG-13
Company: Columbia Pictures
Director: Gabriele Muccino
Cast: Will Smith, Rosario Dawson, Woody Harrelson, Michael Ealy
Runtime: 123 min
Recommendations: 8/10


Tidak semua aktor dapat memerankan sebuah karakter seperti yang diperankan oleh Will Smith dalam film Seven Pounds. Seorang agen IRS yang sangat emosional. Emosi dalam hal ini tidak hanya menggambarkan kemarahan, namun juga kelembutan, empati yg tinggi terhadap orang-orang yg ia temui, apakah itu para wajib pajak ataupun bukan.

Di awal film, mengutip perkataan teman saya Angki, film2 Hollywood hampir selalu seperti itu, tidak jelas di awal, yang pada akhirnya satu-persatu keping puzzle itu terkuak. Mengapa Ben Thomas (Smith) bertingkah aneh sebagai petugas IRS? Berani memukul seorang pengurus rumah sakit jompo hingga mengatakan kata2 kejam kepada seorang call center buta? Hanya Thomas sendiri yang mengetahui alasannya berbuat seperti itu, yg juga akan diketahui oleh penonton di akhir cerita.

Permainan emosi Will Smith-lah yang sangat menonjol di film ini. Jika Anda pernah menonton Pursuit of Happyness, maka di film ini Anda akan menemukan akting Smith yg sama memukaunya dengan film tersebut. Mungkin juga karena kedua film tersebut digarap oleh sutradara yg sama: Gabriele Muccino. Perbedaannya terletak pada plot, alur cerita, dan motif tersembunyi yang dimiliki tokoh utamanya.

My only word: Beautiful. The story, the character, the emotion, the motive, especially the ending, are beautiful. It effected me so much, so I cried, several times. And I had to rebuild my mood after I saw the movie. Bravo, Smith...!

Righteous Kill (2008)

Genre: Drama; Thriller
MPAA: Dewasa (D)/Restricted (R)
Company: Overture Films
Director: Jon Avnet
Cast: Robert De Niro, Al Pacino, 50 Cent, Carla Gugino, John Leguizamo
Runtime: 101 min
Recommendations: 6/10


Tidak selamanya dua hal yang sama kuat menghasilkan sesuatu yang semakin kuat. Hal itu tercermin dari film yg baru saja saya tonton, Righteous Kill.

Film tersebut dibintangi dua orang aktor, yang siapa pun tak kuasa menyangkal kehebatan akting yang dimiliki mereka: Robert DeNiro dan Al Pacino. Pertanyaan awal yang kemudian timbul adalah: akan seperti apakah akting keduanya? Kemudian dilanjutkan dengan harapan: akan sebagus apa filmnya dengan keberadaan dua aktor sekaliber mereka?

Jujur, sebelum menonton film ini, saya sama sekali tidak terbekali oleh apapun, baik dari resensi ataupun recheck situs Ebert. Begitu juga Arnold Linting a.k.a Ode, yg hari itu menjadi teman menonton, juga tidak terbekali apapun. Kami berdua lagi-lagi hanya mengandalkan dua nama besar yg terpampang di poster, berharap (minimal) tidak akan merasa kecewa, seperti apapun jalan ceritanya.

Film tersebut bercerita mengenai dua detektif senior Amerika (DeNiro & Pacino) yang menyelidiki pembunuhan berantai. Mereka sudah menjadi partner selama puluhan tahun, sehingga sudah saling mengerti posisi, karakter, hingga pribadi masing-masing. Itu yang mereka pikir. Namun lama-kelamaan pembunuhan berantai yg sedang mereka selidiki, menguak apa yg sebetulnya terjadi dan menimbulkan konflik yang sebelumnya tidak akan pernah terfikir di antara mereka. Konflik apa? No, I won't tell any further than that. Just watch the film :).

Dari segi cerita sebetulnya menarik, konflik amat terasa, pilihan tepat bagi para penggemar cerita detektif. Namun yg menjadi mengecewakan adalah akting dynamic duo tersebut. Bukan karena mereka berakting buruk (kapan sih mereka berakting buruk?). Namun karena mereka sama2 berakting kuat, seperti terjadi adu karakter -- kalau tidak ingin disebut pembunuhan karakter. Keduanya istimewa, namun karena tidak ada perhitungan kapan mereka harus mengalah satu dengan lainnya, hasilnya menjadikan akting keduanya menjadi "biasa-biasa" saja.

Seharusnya dengan pengalaman akting puluhan tahun yang mereka miliki, mereka bisa mengukur, sejauh mana mereka saling mendukung satu sama lain. Seperti contoh di film The Godfather (1972), di mana Pacino beradu akting dengan aktor kawakan Marlon Brando (woohoo...!). Brando yang memiliki karakter (sangat) kuat berhasil melakukan dua hal: berakting secara total tanpa harus menumbangkan akting lawan mainnya. Brando dapat mengukur, kapan karakter yg diperankannya harus menonjol, dan kapan ia harus "mengalah" untuk dapat membuat lawan mainnya juga diperhitungkan oleh penonton. Hasilnya? The Godfather menjadi salah satu film terbaik sepanjang masa.

Hal ini menunjukkan prinsip Yin & Yang memang berlaku hampir di setiap keadaan. Tak selamanya yang kuat beradu dengan yang kuat berakhir dengan kemenangan salah satunya. Bisa jadi malah membunuh keduanya. Mengalah tidak selalu menjadi kalah, namun justru bisa membawa kebaikan kepada semua pihak. Bahkan bukannya tidak mungkin, pada akhirnya si pengalah yang malah menjadi pemenang.

Overture

Welcome to "Our Cinema Sanctuary" Blog!

Blog ini khusus berisi ulasan film-film yang telah kami tonton. Film-film yang kami ulas tidak hanya harus film-film terbaru, namun juga film-film klasik/lama, yang menurut kami menarik untuk diulas.

Mengapa kami memilih judul Blog "Our Cinema Sanctuary"?

Cinema dalam bahasa Indonesia memiliki arti: film; bioskop. Sedangkan Sanctuary sendiri memiliki arti: tempat suci; suaka; cagar alam. Jadi secara keseluruhan, Our Cinema Sanctuary berarti: sebuah tempat khusus di mana kami dapat menuangkan pendapat mengenai film dengan bebas, mulai dari menilainya, merekomendasikannya, hingga mengritiknya.

Kami memang bukan kritikus film profesional. Kami hanya pencinta dan penikmat film, yang ingin menuangkan pendapat, itu saja. Jika pendapat Anda tidak sesuai dengan kami, kami justru berbahagia. Itu menandakan bahwa kita memang masyarakat beragam, yang memiliki perbedaan pikiran, opini, dan selera. Perbedaan itulah yang akan menjadikan para sineas dunia tertantang untuk selalu memuaskan selera para penontonnya, dan akan menghasilkan karya-karya film yang menakjubkan.

Jadi, siapkan Pop Corn, silakan menempati kursi Anda, matikan handphone, jangan berisik, dan selamat menikmati persembahan kami...!!!